13 Oktober 2008

Perang Salib, agama atau kepentingan?


Jika mendengar "perang salib", saya selalu berpikir perang antar agama, yaitu perang antara Kristen dan Islam dalam memperebutkan Yerusalem yang merupakan tanah suci umat Yahudi, Nasrani dan Islam yang terjadi di jaman pertengahan (abad ke-11).

Sesungguhnya agama Nasrani, Muslim dan Yahudi lahir dan bermula di Yerusalem. Motif dari perang salib menjadi terkesan tidak berdasar karena Yerusalem bukanlah milik umat Nasrani saja.

Sisi positif dari perang salib adalah adanya pertukaran kebudayaan dan juga teknologi antar benua eropa dan asia yang mendorong munculnya era Renaissance. Era ini dikatakan merupakan era kebangkitan dari kebudayaan eropa kuno, yaitu era Yunani dan Romawi Kuno. Era ini merupakan era kebangkitan dari teknologi, seni dan budaya eropa setelah berabad-abad berapada pada "Era Kegelapan". 

Era Kegelapan adalah suatu era dimana pengaruh Gereja Katolik terlalu dominan dalam kehidupan masyarakat eropa, seperti politik, ekonomi dan budaya.Pada hakekatnya, Perang Salib bukanlah Perang Agama namun lebih kepada perang memperebutkan daerah kekuasaan suatu daerah yang sangat strategis karena merupakan pintu gerbang perdagangan antara eropa dan asia.

Perang Salib adalah gelombang pertikaian bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada tahun 1095 atas restu Paus yang mengatasnamakan Agama Kristen untuk menghancurkan dan mengusir kaum Muslim dari kota Yerusalem.

Keputusan untuk berperang awalnya atas permohonan dari Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Ortodox Timur untuk melawan ekspedisi Dinasti Seljuk yang beragama Islam yang ingin menguasai Anatolia (Turki kuno).


Sebelum perang salib, baiknya kita lihat dulu keadaan eropa pada saat itu.

Pada masa itu Kekaisaran Byzatium sudah mengalami kemerosotan karena gelombang serangan dari bangsa Muslim Turki.

Pecahnya Kekaisaran Corolingian pada akhir abad ke-9 dan gerakan peng-kristen-an bangsa-bangsa petarung seperti Viking, Slav dan Magyar menyebabkan banyak petarung-petarung bangsa itu tidak lagi berperang..

Kaum petarung ini yang sudah terbiasa dengan peperangan, perebutan wilayah, penindasan dan kekerasan harus menerima kampanye anti kekerasan oleh geraja masa itu.

Pada masa itu juga kesatri-kesatri Iberia harus berperang melawan kaum Moor Islam yang telah mendudukin Semenanjung Iberia selama 2 abad.


Perang Salib I (1095-1099 AD)

Yang melatarbelakangi Perang Salib adalah misi Paus Urbanus II untuk menyatukan kerajaan-kerjaan Kristen Di Eropa. Pada masa itu, hampir seluruh kerajaan di Eropa memeluk agama Katolik, kecuali Kekaisaran Byzntium dari Konstantinopel yang pada saat itu dipimpin oleh Kaisar Alexis. Satu agama tidak membuat kerajaan-kerajaan di eropa bisa akur satu sama lain. Peperangan sering terjadi dengan alasan perebutan daerah kekuasaan sehingga membuat rakyat sangat menderita.

Pada saat Kaisar Alexis memohon bantuan Kepausan untuk melawan Muslim Turki, Paus Urbanus II melihat adanya musuh bersama yang bisa dimanfaatkan untuk menyatukan kerajaan-kerajaan Kristen di eropa. Walaupun sebelumnya Paus sudah mengucilkan Patriark Konstantinopel dan Kristen Ortodoks Timur tidak lagi satu gereja dengan Katolik tidak lagi dipertimbangkan.Pada tahun 1095, Urbanus mengadakan Konsili Clermont.

Di sana ia menyampaikan kotbahnya yang menggerakkan: "Telah tersebar sebuah cerita mengerikan ... sebuah golongan terkutuk yang sama sekali diasingkan Allah ... telah menyerang tanah (negara) orang Kristen dan memerangi penduduk setempat dengan pedang, menjarah dan membakar." Ia berseru: "Pisahkanlah daerah itu dari tangan bangsa yang jahat itu dan jadikanlah sebagai milikmu.". "Deus vult! Deus vult! (Allah menghendakinya)," teriak para peserta.

Ungkapan itu telah menjadi slogan perang pasukan Perang Salib. Mulailah utusan-utusan Paus berkeliling eropa untuk memperoleh dukungan untuk "perang suci" tersebut.

Para kesatria yang haus peperangan menyambut antusias kampanye tersebut, walau awalnya agak terkejut karena tujuan perang adalah demi agama. Untuk memperoleh lebih banyak dukungan, Paus dan pengikutnya menyebarluaskan "keuntungan" dari peperangan melawan kaum muslim tersebut.

Paus mengatakan bahwa orang-orang yang mati dalam "perang suci" ini akan memperoleh pengampunan Tuhan akan dosa-dosanya dan akan langsung masuk sorga.
Dimulai lah ekspedisi kerajaan-kerajaan Kristen eropa ke Konstantinopel dan Yerusalem. Didukung oleh kekaisaran Byztanium, "Tentara Salib" ini mulai merebut kota Antiokhia dan Yerusalem.

Banyak penulis yang menggambarkan peperangan tersebut bagai banjir darah sampai setinggi tungkai kuda. Penggambaran ini bukannya tanpa alasan, prinsip Tentara Salib adalah tidak mengakui tawanan sehingga membunuh semua musuh-musuhnya.

Ekspedisi ini berjalan sangat sukses sehingga setelah kota-kota tersebut berhasil diduduki, mereka lalu mulai mengganti taktik menyerang menjadi bertahan dengan membangun benteng-bentang baru. Lalu ditunjuk lah Godfrey dan Bouillon sebagai penguasa Kerajaan Latin di Yerusalem.

Legenda Kesatri Templar pelindung Yerusalem muncul pada masa itu. Momentum perang salib ini juga dimanfaatkan oleh Jerman dan Prancis untuk melaksanakan Perang Salib Rakyat dimana tentara-tentara Jerman dan Prancis menyerang komunitas Yahudi.

Pada era perang salib I juga berkembang anggapan bahwa bagi tentara yang diutus ke timur untuk melawan kaum muslim kembali ke kerajaan asalnya tanpa ikut berperang, dianggap sebagai suatu hal yang memalukan.

(Dilanjutkan pada posting berikutnya)









Tidak ada komentar: