15 Februari 2010

Kembara yang Terlupakan


Oleh John Lancaster
Foto oleh Steve McCurry

Gadulia Lohar, salah satu suku pengembara di India, hidup secara nomaden. Perdana menteri setempat pernah membuat prakarsa agar suku-suku pengembara berhenti dari kebiasannya. Sayangnya prakarsa itu tidak berlangsung lama. Permukiman tempat para pandai besi itu, yang dimaksudkan agar mereka mempelajari seluk-beluk peternakan, ditinggalkan setelah dua orang gadis meninggal karena sakit—yang ditafsirkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang melanggar tradisi Lohar. Kebijakan lainnya gagal karena dikotori tindakan korupsi dan perencanaan yang buruk.

Di kegemilangan masa lalu mereka, Gadulia Lohar menempa baju besi untuk raja-raja Hindu. Sekarang, para pandai besi ini mendirikan perkemahan di pinggiran desa-desa kecil India dan membuat barang sederhana dari lembaran logam.

Pada suatu hari yang hangat di bulan Februari, aku tiba di sebuah perkemahan di negara bagian Rajasthan yang terletak di barat laut India, membawa beberapa batang sabun untuk memuluskan proses perkenalanku. Kejutan langsung menyongsongku begitu aku mendekat. Kaum lelaki, wanita, dan anak-anak mengelilingiku, merenggut tas dan merobek-robeknya, menumpahkan batangan sabun ke tanah. Lalu, terdengar suara bersungut-sungut mengiringi perebutan brutal tersebut. Kericuhan itupun akhirnya berujung dengan tangisan sedikitnya seorang anak yang sudah agak besar.

Insiden sabun itu mungkin terkesan liar, namun sejatinya mewakili masalah kemiskinan dan keputusasaan yang dihadapi kaum pengembara yang telah menjelajahi anak benua itu selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Gadulia Lohar (nama mereka berasal dari kata Hindi "gerobak," gaadi, dan "pandai besi," lohar) adalah suku pengembara yang paling terkenal; suku lainnya adalah penggembala, seperti Rabari, yang terkenal di seluruh India Barat karena turban mereka yang besar dan pengetahuan mereka yang luas tentang segala hal yang berkaitan dengan unta. Sebagian di antara mereka adalah pemburu dan pengumpul tanaman. Sebagian lagi penyedia layanan—pedagang garam, peramal, tukang sihir, tabib ayurveda. Dan sebagian lainnya adalah pemain sulap, pemain akrobat, pembuat batu asah, pendongeng, pawang ular, dokter hewan, tukang tato, penganyam keranjang. Jika semua dihitung, para antropolog telah mengidentifikasi sekitar 500 kelompok pengembara di India, yang jumlahnya mungkin mencapai 80 juta orang—sekitar 7 persen dari seluruh populasi yang hitungannya mencapai lebih dari satu milyar orang.

Kaum pengembara ini dulunya merupakan bagian dari penduduk India pada umumnya. Mereka menjalin hubungan baik dengan penduduk desa yang tinggal di sepanjang rute migrasi tahunan mereka. Namun, pada abad ke-19, sikap mereka mulai berubah. Perubahan itu dipicu sikap penguasa Inggris yang meremehkan mereka sebagai gelandangan dan pelaku kejahatan, menabur prasangka yang terus hidup sampai sekarang, meskipun masa penjajahan sudah berakhir. Kemudian ditambah dengan modernisasi India yang dengan cepat merambah kegiatan telemarketing dan kaum muda yang keranjingan merek nyaris tidak pernah lagi menggunakan jasa para pengumpul kaleng, pelatih beruang, dan para penggembala yang tentu saja kalah bersaing dengan industri dan perkembangan kota. Selain terpecah-belah oleh kasta, bahasa, dan wilayah, kaum pengembara ini juga diabaikan oleh para politisi dan, berbeda dengan kelompok tertindas lain, hanya bisa memetik sedikit manfaat dari program kesejahteraan sosial.

Mendefinisikan istilah "pengembara" saja sudah menimbulkan masalah di India. Banyak sekali kelompok yang dulu jelas-jelas sesuai dengan kategori itu sekarang mengelompok di daerah-daerah kumuh yang oleh para antropolog disebut “menetap.” Namun, India tetap merupakan negara dengan lapisan masyarakat yang kaku dan pandangan tentang kelahiran yang kerap diidentikkan dengan takdir. Jadi, baik berpindah-pindah ataupun tidak, kaum pengembara India dipersatukan oleh sebuah sejarah kemiskinan dan pengucilan, yang terus berlanjut hingga sekarang: yang mana hal tersebut bisa dikatakan krisis hak asasi manusia terbesar yang terlupakan orang.

Bagi segelintir orang yang peduli pada para pengembara ini, jalan keluar yang terpenting adalah memberi mereka tempat berteduh, atau setidaknya memberi mereka alamat tempat tinggal, sehingga akan lebih mudah bagi mereka untuk memperoleh tunjangan kesejahteraan dan menyekolahkan anak-anak mereka. Namun, upaya seperti itu terhalangi oleh penolakan keras dari penduduk desa dan politisi setempat, yang memandang para pengembara ini sebagai orang luar yang kotor dan hina. Di samping hambatan praktis ini, masalah lain yang lebih serius mengintai: Apakah para pengembara ini harus mengorbankan jatidiri mereka agar bisa bertahan hidup?

Setelah peristiwa keributan tentang sabun itu, pada pagi harinya keadaan sudah menjadi lebih nyaman bagiku. Perkemahan itu terasa sepi, yang terdengar hanyalah suara batuk-batuk sesekali yang mengkhawatirkan. Asap membubung dari tembikar yang masih mentah, para wanita bergantian meniup-niup ubub dari kulit kambing, sementara para lelaki dan pemuda memukuli lembaran logam pada alas kecil dari besi, membentuknya menjadi sendok untuk memasak, kepala kapak, dan peralatan sederhana lainnya.

Aku dan juru bahasaku menghitung ada 23 orang dalam empat keluarga Lohar itu, semuanya memiliki hubungan kekerabatan. Mereka membawa harta benda mereka dalam lima gerobak terbuka yang dibangun dari kayu akasia dan kayu jati, dihiasi ukiran bunga teratai, giwang kuningan, dan lukisan swastika Hindu. Semuanya tampak tidak menyukai kehadiranku, dan beberapa di antaranya tanpa tedeng aling-aling menampilkan sikap garang. “Apa pun yang kami katakan, apa pun yang kami lakukan, kamu selalu menuliskannya!” seorang wanita melancarkan protes. Tetapi, beberapa orang lainnya bersikap lebih ramah. Di antaranya Lallu dan Kailashi, sepasang suami istri berusia 40-an—orang Lohar hanya bisa menduga-duga usia mereka—yang memiliki empat orang anak. Lallu yang mengenakan pakaian dhoti—semacam sarung—katun yang sangat kumal, berperawakan kecil dan kurus kering, dengan anting-anting emas berbentuk mirip kacang polong dan sebuah jimat bergantung dari seutas tali yang melingkari lehernya. Kailashi berperawakan kurus dan bermata belok. Tulang dadanya ditato dengan lambang om—simbol suci agama Hindu yang mewakili figur Brahmana. Ia berambut kusut ditutupi selendang ungu. Kondisi gigi keduanya tampak buruk dan mereka sering menyelingi pekerjaan untuk menyalakan rokok lintingan murahan yang dijuluki bidis dari bara api peralatan penempa besi.

Kailashi merasa malu dengan kejadian berebutan sabun itu. “Aku orang miskin, tetapi masih punya rasa malu,” katanya. “Sementara mereka sudah tidak punya malu lagi.”

Putri sulungnya, Kanya, meraih dipan lipat dari tali dan mempersilakan aku duduk. Berusia sekitar 20 tahun, Kanya terlihat riang dan cantik sekali, dengan tulang pipi lebar dan alis yang dicabuti dengan rapi. Kepribadiannya juga kuat. “Jangan nakal!” dia memarahi salah seorang saudara sepupunya ketika anak lelaki itu terus saja mengemis-ngemis, meminta sesuatu dariku. Kanya baru saja kembali ke keluarganya setelah meninggalkan suaminya yang ringan tangan.

Aku menanyakan kepada Lallu dari mana dia berasal, dan mengira dia akan menyebutkan tempat kelahirannya, atau mungkin kota tempat keluarganya berkemah pada musim panas yang lalu, ketika cuaca terlalu panas untuk bepergian. Alih-alih dia malah menyebutkan nama tempat yang belum pernah dilihatnya.

“Chittaurgarh,” katanya. Lalu, dia mengangkat kepalan tangannya ke atas kepalanya, seakan memberi hormat.

Chittaurgarh adalah sebuah benteng besar dibangun dari batu pasir padat yang terletak di dataran rendah di Rajasthan selatan. Benteng itu dibangun pada abad ke-7, dan merupakan ibukota Mewar, sebuah kerajaan yang sangat berkuasa, yang dipimpin oleh para pejuang Hindu berkasta tinggi yang dikenal dengan nama Rajput. Orang Lohar juga termasuk kaum Rajput, menurut cerita lama dari mulut ke mulut. Mereka bekerja di kerajaan itu sebagai pembuat senjata. Namun, pada 1568, Chittaurgarh dikuasai oleh Akbar, Kaisar Mogul yang agung, dan orang Lohar lari menyelamatkan diri.

Malu dengan pelarian tersebut, mereka bertekad untuk hidup mengembara dan tidak mau menjalani kehidupan yang nyaman, bersumpah untuk tidak akan mau lagi bermalam di desa, menyalakan lampu setelah gelap, atau bahkan menggunakan tali untuk menimba air dari sumur—keseluruhan janji itu disebut sebagai Sumpah. (Mereka juga bersumpah untuk tidak tidur di tempat tidur yang nyaman dan bahkan sampai sekarang berkelana sambil membawa dipan yang dipasang terbalik, sebagai lambang ketaatan memenuhi janji kuno itu).

Namun, mereka tetap harus mencari nafkah, sehingga mereka menggunakan keterampilan sebagai pandai besi untuk membuat barang yang lebih sederhana. Peralatan dapur dan peralatan pertanian mereka terkenal karena awet dan, sebelum barang impor murah buatan Cina membanjir, mereka tidak pernah kekurangan pembeli.

India pernah dipenuhi para pengrajin yang senang berkelana ini. Kehidupan mereka pada mulanya pernah dipaparkan secara terperinci oleh seorang pegawai negeri Inggris, Denzil Ibbetson, dalam laporan tahun 1883 berdasarkan data sensus dari wilayah Punjab. Di antara para pengelana itu terdapat suku Qalandari ("pekerjaan nyata mereka adalah pawang beruang, monyet, dan binatang pertunjukan lainnya"); suku Nat ("pemain akrobat dan pesulap kelas picisan"); suku Gagra (“gemar menangkap, memelihara, dan menempelkan lintah "); dan suku Kanjar ("tukang mengobati barah”). "Mereka bukan orang-orang yang menyenangkan," begitu Ibbetson menyimpulkan, "dan syukurlah kami tidak perlu terlalu sering berhubungan dengan mereka."

Pengamatan Ibbetson mencerminkan prasangka zaman itu dan keyakinan yang dianut banyak orang di Inggris bahwa para pengelana—terutama yang berkulit gelap dan menggunakan bahasa Romany yang dikenal sebagai orang Gipsi—adalah orang-orang jahat. Prasangka seperti itu dengan mudah ditularkan ke penduduk anak benua tersebut. Pada 1871, pemerintah kolonial menyetujui undang-undang yang terkenal karena keburukannya, disebut Criminal Tribes Act, yang menyatakan bahwa puluhan kelompok pengembara, pada dasarnya, adalah penjahat karena sudah merupakan sifat bawaan. Keluarga pengembara ini diwajibkan mendaftar ke polisi, dan ribuan lelaki, wanita, dan anak-anak secara paksa dikumpulkan di kamp-kamp pekerja, beberapa di antaranya dikelola oleh Bala Keselamatan, menurut buku Dishonoured by History, karya sosiolog India Meena Radhakrishna.

Setelah kemerdekaan pada 1947, undang-undang itu digantikan oleh undang-undang lain yang tak kalah diskriminatifnya, yaitu Habitual Offenders Act, dan cap sebagai orang jahat terus berlanjut. "Aku tidak pernah bisa membayangkan bahwa keturunan mereka akan tetap dipandang dengan prasangka yang sama dari tahun ke tahun," kata Radhakrishna. “Bukannya mereka tidak ingin menjadi bagian dari masyarakat—mereka justru tidak diperbolehkan menjadi bagian dari masyarakat.”

Para wanita bertugas menyiapkan makan malam. Dengan lesung dan alu, Kailashi melumatkan cabai untuk dijadikan tumis sayuran, sementara di atas api terbuka Kanya menyiapkan chapati, roti India tipis yang mudah didapatkan di mana-mana. Malam sudah datang menjelang, sehingga mereka harus bekerja dengan cepat, karena sumpah masa lalu mereka janji tidak menyalakan lampu di malam hari. Orang Lohar tiba di desa itu beberapa hari sebelumnya dan tidak yakin berapa lama mereka akan tinggal di situ. Hal itu tergantung pada ada tidaknya pekerjaan. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang dari mereka, sambil menganggukkan kepalanya ke arah kerbau di dekatnya,” "Tidak banyak perbedaan antara hidupku dan kehidupan si kerbau. Dia merambah mencari makanan, dan kami juga mengembara untuk mencari makan.”

Memang sulit menyanggah perbandingan itu. Orang Lohar belum pernah mengenal sekolah. Mereka membuang hajat di lapangan dan tidur beratapkan langit, kecuali selama musim hujan, ketika mereka memasang atap peneduh pada gerobak dan membentenginya dengan dinding lumpur rendah untuk mencegah banjir. Mereka belum pernah mendengar tentang Amerika Serikat. Pada kedatanganku yang pertama, Kanya mengira—meskipun aku berkulit putih—bahwa aku berasal dari Jaipur, ibukota negara bagian Rajasthan, yang jaraknya 65 kilometer dan hal itu menunjukkan betapa terbatasnya pengetahuannya tentang ilmu bumi. “Ahhh," katanya ketika aku menceritakan pesawat terbang. "Kamu datang naik cheel Gaadi." Kereta elang.

Seperti kelompok pengembara lain, sesekali Gadulia Lohar dijadikan sasaran untuk upaya rehabilitasi. Pada 1955, Jawaharlal Nehru, perdana menteri India yang pertama, mengatakan dalam sebuah pidato terkenal di Chittaurgarh bahwa kehormatan para pandai besi itu telah dipulihkan dengan pembentukan kedaulatan India dan meminta kepada mereka untuk berhenti mengembara. Ribuan orang yang menempuh perjalanan ke benteng dengan naik gerobak sapi dan kereta api menyaksikan ketika secara simbolis Nehru menjungkirkan dipan yang terbalik, kemudian mengundang mereka untuk masuk dengan berjalan menyeberangi jembatan yang penuh dengan kelopak bunga mawar, menuju sebuah sekolah berasrama untuk anak laki-laki Lohar yang didirikan di dekat tempat itu. Lantas, program perumahan dan lapangan kerja pun diluncurkan.

Sayangnya prakarsa itu tidak berlangsung lama. Permukiman tempat para pandai besi itu, yang dimaksudkan agar mereka mempelajari seluk-beluk peternakan, ditinggalkan setelah dua orang gadis meninggal karena sakit—yang ditafsirkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang melanggar tradisi Lohar. Kebijakan lainnya gagal karena dikotori tindakan korupsi dan perencanaan yang buruk.

Tetapi, nasib para perantau itu terus diperjuangkan oleh kelompok hak asasi manusia, dan pada 2005 Parlemen India membentuk sebuah komisi sementara untuk menangani masalah kesejahteraan mereka. Ketuanya, Balkrishna Renke, secara unik memenuhi syarat untuk tugas itu: dia dilahirkan dalam kelompok peminta-minta, menghabiskan masa kecilnya merambah pedesaan di India barat, bernyanyi sebagai upaya mencari nafkah guna membeli makan malamnya, sampai kemudian badan amal mengasuhnya dan menyekolahkannya.

Bagi Renke, sasarannya jelas. "Jika mereka ingin memiliki hak kewarganegaraan, pendidikan, dan berpartisipasi dalam kemajuan modern, mereka harus tinggal menetap," katanya. Renke amat maklum bahwa tantangannya besar sekali . Sistem kesejahteraan sosial India yang lamban, namun begitu luas yang harus ditangani, telah lama diarahkan untuk menangani ketidakadilan kasta. Karena para pengembara ini meliputi banyak kasta, mereka hanya bisa memetik sedikit sekali manfaat program kesejahteraan sosial—tanpa dukungan pengaruh politik manapun tentunya—yang diperoleh kelompok teraniaya lain, seperti kasta pariah. "Mereka tidak punya organisasi. Tidak mengalami kebangkitan,"kata Renke. "Mereka adalah orang-orang yang suaranya tidak dipedulikan."

Setelah seminggu bergaul dengan orang Lohar, aku mulai memaklumi salah satu alasan tersebut: memang tidak mudah bergaul dengan mereka. Walaupun telah menjelaskan sejak awal bahwa aku tidak akan memberi mereka uang, aku berusaha untuk tetap menarik hati mereka dengan membagikan hadiah kecil—biasanya beberapa bungkus lentil dan tepung—dan sesekali membelikan mereka chai—minuman khas India campuran the dan beberapa jenis rempah—dari penjual yang berjualan di dekat situ. Namun, untuk beberapa orang, hal itu tidak pernah cukup. Kartar, kakak Lallu, terus-menerus merecoki diriku, minta dibelikan kalakand, semacam puding susu, dan merajuk ketika aku tidak memenuhi rengekannya. Istrinya, Pooni, sama juga, suka merengek. "Beri aku uang untuk membeli chai!" katanya sambil menyapaku di suatu pagi, dan setiap kali aku menatap matanya, ia menarik-narik bajunya yang compang-camping atau memberi isyarat keinginannya untuk membeli bidi dengan mengangkat dua jari ke bibirnya, seperti orang merokok. Aku pun kemudian berusaha untuk tidak menatap matanya.

Bahkan Lallu, yang menurut Kailashi "terlalu malu untuk mengemis," tidak malu untuk sesekali merengek kepadaku.
“Aku belum makan sejak kemarin karena ayamku mati,” katanya di suatu sore. “Aku sedih sekali. Ada anjing yang menerkamnya sampai mati.”
Aku bergumam menyampaikan belasungkawa.
"Ayam baru harganya 300 rupee."
Aku mengangguk tanda bersimpati.
“Minta uang 100 rupee ya?”
Ya ampun!

Meskipun begitu, aku tetap mengagumi orang-orang Lohar ini. Mereka adalah seniman yang terampil dan pekerja keras, serta tampak jelas selalu bangga akan pekerjaan mereka. Pada suatu sore, datang seorang wanita yang rambutnya sudah beruban dari desa, hendak membeli sendok. "Aku mungkin akan minta beberapa rupee lagi, tapi bakal sepadan karena barang-barang buatanku bermutu baik," Kartar berjanji. Sambil berjongkok di bawah naungan sebuah pohon neem (keluarga Meliaceae), dia memanaskan sepotong besi hingga membara, kemudian meletakkannya di atas sebuah alas dengan penjepit, sementara Pooni berdiri dengan kaki merentang lebar-lebar di tanah, memipihkan besi itu dengan palu godam. Ketika logam itu sudah pipih dan lentur, Katar meraih palu yang lebih kecil dan dengan cekatan membentuk sendok bergagang panjang, memukuli permukaannya sehingga membentuk banyak lekukan kecil yang sangat indah.

Ia mengikir pinggirannya sampai halus, lalu menyerahkannya kepada wanita itu dengan mimik wajah yang menunjukkan rasa bangga dan hormat. "Silakan, Ibu," katanya, dan menerima 30 rupee—sekitar 6.500 rupiah—sebagai imbalannya.

Orang Lohar peduli akan keterampilan mereka karena mereka peduli akan jatidiri mereka. Semuanya, termasuk anak-anak, mengenal cerita Chittaurgarh, dan anak-anak yang menangis disuruh diam dengan kata-kata, "Jangan menangis—kamu orang Lohar." Putra Kartar, Arjun, adalah perwujudan kebanggaan orang Lohar. Pada usianya yang baru sekitar sepuluh tahun, perawakannya besar dan meyakinkan, dengan tubuh yang cocok untuk seorang juara gulat tingkat junior. Arjun menunjukkan rasa bangganya akan kehebatan tubuhnya dengan palu godam, yang terus diangkatnya berulang-ulang tanpa lelah, sementara ayahnya terus mengobarkan semangatnya dengan teriakan, Ayo, lebih keras! Lebih cepat! "

Sudah beberapa hari aku bertanya kepada orang-orang Lohar itu, kapan mereka berencana untuk berangkat, dan setiap kali jawabannya sama: besok. Kemudian, waktu keberangkatan itu pun akhirnya tiba. Aku muncul di perkemahan pada suatu pagi dan kulihat mereka sedang memuat barang ke gerobak. Peralatan disimpan dalam beberapa kompartemen, hewan ternak diikat dengan susah payah, selimut dilipat dan ditumpuk di gerobak bersama dengan dipan, bersama dengan peralatan masak yang sudah menghitam karena sering digunakan di atas api, dan anggota keluarga yang masih terlalu kecil atau lemah diatur untuk berjalan di sisi gerobak. Akhirnya, dengan isyarat tanpa suara, rombongan karavan yang butut itu bergerak maju, suara roda besi terdengar berderak-derak menapaki jalan. Kendaraan di jalan, kebanyakan sepeda motor dan jalopies (mobil) bertenaga diesel buatan dalam negeri yang dinamakan jugards, menepi ketika orang-orang Lohar itu bergerak menuruni jalanan sempit, melewati ladang sayuran dan ladang gandum yang tampak bergelombang tertiup angin musim dingin.

Sulit rasanya untuk tidak terpesona oleh pemandangan yang romantis itu. Tambahan lagi, inilah suku yang semakin punah, yang sedang mengembara. Jika kita abaikan keberadaan peralatan dunia modern—mobil Honda buatan India dan menara microwave berwarna jingga-putih—maka suku Lohar itu hampir tidak bisa dibedakan dari seniman Rajput yang bangga, yang melarikan diri dari Chittaurgarh hampir setengah milenium yang lalu. Apa sajakah yang akan dirasakan hilang oleh para penjelajah abad pertengahan ini jika mereka tidak lagi mengembara dan menyatu dengan masyarakat? Dalam hal budaya dan tradisi mereka, mungkin segalanya.

Tampaknya hal itu merupakan pengorbanan yang sangat besar. Orang Lohar yang kutemui di mana-mana berpegang teguh pada jatidiri mereka sebagai bangsa pengembara. Namun, sebagian besar menyatakan dengan jelas bahwa mereka hidup dengan mengandalkan gerobak mereka karena alasan sederhana: mereka tidak memiliki pilihan lain.

"Aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia jika punya tanah dan rumah," Lallu berkata kepadaku di suatu malam. Kanya juga sangat ingin memiliki rumah yang nyaman, pengalaman yang belum pernah dialaminya. Dambaan mereka ini mudah dipahami. Transformasi ekonomi yang begitu cepat tengah terjadi di India, bahkan di pedesaan Rajasthan sekalipun. Misalnya ponsel yang dibawa para pelanggan orang Lohar (meskipun orang Lohar sendiri tidak memilikinya) dan parabola yang dipasang di rumah-rumah besar milik para petani. Wajar saja jika mereka juga ingin menikmati kemakmuran baru ini. Apalagi karena kesadaran mereka telah dibangkitkan. Seperti yang dialami kelompok pengembara lainnya di Rajasthan utara, orang Lohar telah didorong oleh para aktivis setempat yang memperjuangkan hak atas tanah untuk mengajukan permohonan kepada dewan pemerintahan daerah urusan tanah dan perumahan. Selain menyediakan tempat berteduh bagi mereka, hal ini juga akan memudahkan birokrasi India yang memerlukan alamat tetap, untuk menyalurkan tunjangan kesejahteraan, seperti minyak goreng bersubsidi dan perawatan kesehatan gratis.

Tetapi, sejauh ini usaha mereka sia-sia. Para pejabat kota yang menerima permintaan orang Lohar mengatakan bahwa mereka tidak memiliki tanah untuk diberikan—dan seandainya pun mereka memiliki tanah, mereka ragu orang Lohar akan mau menerimanya. "Mereka tidak ingin tinggal menetap di suatu tempat," kata seorang pejabat dengan acuh tak acuh. "Mereka ingin terus berkelana."

Tanggapan yang sama juga dikemukakan di Thana Ghazi, sekitar 95 kilometer timur laut Jaipur; ketika para pejabat setempat dengan enggan memberikan lahan untuk puluhan keluarga orang Lohar di tepian jalan tersibuk di kota itu. Para pandai besi itu ditempatkan di rumah tembok berkamar satu, sementara gerobak dan perkakas mereka berada di depan rumah. Namun, setelah lima tahun berlalu, kota itu tetap tidak mengalirkan listrik dan menolak permohonan orang Lohar untuk diberi jamban bersama.

Pradhan, sebutan bagi pejabat senior terpilih untuk distrik itu, menegaskan bahwa ia menolak menyediakan layanan ke permukiman itu karena menurut pendapatnya sejak awal orang Lohar seharusnya tidak diizinkan menetap di tempat itu. Lokasi permukiman itu terlalu dekat dengan asrama putri dan SMA, begitu alasannya, dan orang Lohar akan lebih baik tinggal di lokasi lain di luar kota.

Beberapa hari setelah aku mempertanyakan kasus tersebut, para pekerja datang untuk mulai memasang kabel listrik di permukiman itu. Sayangnya beberapa warga kota secara terang-terangan menunjukkan sikap tidak senang. Ketika aku meninggalkan permukiman itu bersama seorang petugas badan amal di suatu sore, tiga orang pemuda bercelana panjang dan memakai sweater mengejek kami dari atap sekolah yang berdekatan. "Apa yang akan kamu lakukan untuk mereka?" salah seorang dari mereka berteriak. "Mereka itu pengembara, dan mereka akan selalu berkelana."

Saat itu awal Maret, dan panen musim semi sudah hampir tiba bagi Lallu dan Kailashi serta klan mereka. Ladang gandum tampak seperti emas di bawah terik matahari yang semakin terasa panas dari hari ke hari. Di perkemahan mereka di desa yang baru, orang Lohar berlindung di balik bayangan gerobak dan mendinginkan badan di sumur yang ada di dekat situ.

Musim semi biasanya merupakan waktu yang penuh harapan di pedesaan Rajasthan, tetapi bagi Kanya musim ini penuh dengan ketakutan. Orang tuanya memutuskan bahwa setelah festival Hindu Akha Teej, yang jatuh pada April, Kanya akan kembali tinggal bersama suami dan keluarganya. "Pemuda itu jahat," katanya.

Dia berkata bahwa pemuda itu dan ibunya memaksanya bekerja sepanjang hari meniup-niup ubub, dan pemuda itu memukulinya kalau dia menolak. Namun, Kanya tahu bahwa perceraian adalah sesuatu yang mustahil bagi wanita seperti dirinya. "Aku tidak bisa berbuat apa-apa," katanya. "Kalau aku tinggal di sini, aku akan menderita. Kalau aku tinggal bersama keluarga suamiku, aku juga akan menderita. Ini semua sudah takdir.”

Ketidakberdayaan Kanya diperparah oleh statusnya sebagai wanita, yang pada tingkat tertentu juga dialami oleh semua orang Lohar; kedudukan sosial mereka yang rendah membuat mereka rentan terhadap tekanan dan prasangka yang dilancarkan penduduk pedesaan India. Pada suatu sore, aku muncul di perkemahan dan mendapat kabar bahwa sehari sebelumnya suku Lohar itu dikunjungi oleh pengikut Swayamsevak Rashtriya Sangh, atau RSS, kelompok nasionalis Hindu India yang terkemuka. Para ekstremis dari kelompok itu mendengar kabar tentang kehadiranku, dan mengira aku adalah misionaris Kristen, dan langsung saja mereka mengancam akan menghajarku. Orang-orang Lohar itu jelas ketakutan dan memintaku pergi.

Akhirnya aku bisa menjelaskan pada mereka bahwa aku seorang wartawan, bukan evangelis. Para pekerja RSS meminta maaf dan bahkan menemaniku untuk bertemu lagi dengan orang-orang Lohar itu, yang sekarang telah pindah untuk kedua kalinya, ke padang rumput gersang di pinggiran desa lain. RSS mendesak orang Lohar untuk mau bekerja sama, tetapi hubunganku dengan para pandai besi itu tidak lagi bisa pulih sepenuhnya.

Karena sudah curiga sejak awal, apalagi setelah munculnya masalah dengan RSS, mereka tidak mau menerima alasan apa pun untuk menerimaku lagi. "Kamu memberi kami segenggam tepung, tetapi kamu menulis terlalu banyak," kata Kartar, dengan mata membelalak. "Pergilah. Kami sudah muak denganmu. "

Pada suatu sore, aku mengendarai mobil keluar dari Jaipur dalam upaya terakhir untuk berdamai. Sayangnya, Lallu dan Kailashi tidak ada untuk memberikan dukungan. Mereka sedang naik bus dalam perjalanan ke ibukota Rajasthan, berharap dapat memperoleh perawatan untuk Kailashi yang mengidap batuk kronis dan demam. Yang lain tidak sudi berbicara denganku, dan beberapa orang menolak kedatanganku. Aku memaklumi isyarat mereka dan berjalan kembali ke mobil. "Jangan ke sini lagi," teriak Kartar.

Sebelum pergi, aku menoleh dan memandang orang-orang Lohar itu untuk terakhir kalinya. Bisnis mereka semakin merosot dan peralatan tempa mereka sudah sangat jarang digunakan lagi. Besok, atau mungkin keesokan harinya, mereka akan membereskan gerobak dan melanjutkan perjalanan, seperti yang sudah sering mereka lakukan sebelumnya. Tetapi, saat ini, mereka tampak lesu dan letih. Mereka tampak seperti pengelana yang telah sampai di akhir perjalanan.

04 Februari 2010

Gereja Ortodoks Rusia



Setelah tenggelam selama 75 tahun, agama para tsar Rusia kini menikmati status istimewa.

Oleh Serge Schmemann
Foto oleh Gerd Ludwig

Rusia yang baru semakin memudar saat kendaraan meninggalkan Moskwa. Kemacetan, polusi, mal-mal yang menjamur, dan papan-papan reklame yang menjadi buah dari tahun-tahun ekonomi pasar berganti dengan kawasan pinggiran nan kelabu serta pabrik-pabrik karatan peninggalan Uni Soviet. Lalu, pemandangan itu pun berganti menjadi hutan pinus dan pohon perak yang menjulang diselingi padang rumput serta desa-desa berumah kayu yang tak lekang oleh zaman. Sesekali, menara berwarna cerah-ceria menukas cakrawala. Kubahnya yang keemasan berkilau di bawah siraman cahaya mentari musim semi. Kami kembali ke glubinka, Rusia “pedalaman” yang dicintai para Slavofilia (pengagum budaya slavia), kaum buangan, dan pelukis. Kami langsung menuju ke ulu hatinya.

Tujuan kami adalah Murom, satu di antara kota tertua Rusia. Murom yang terletak di atas tujuh bukit di sepanjang sisi kiri Sungai Oka adalah garda nan perwira di tepian timur Rus kuno pada abad pertengahan, sebelum kekaisaran Rusia berkembang dan meninggalkan kota propinsi miskin yang kaya akan mitos, kenangan, dan biara tersebut. Penguasa Uni Soviet dulu berusaha menghapus hal-hal ini dan sebagian cerita dari Rusia masa kini adalah upaya menghidupkan kembali masa lalu. Di tempat terpencil ini, sebagian masa lalu itu juga milikku.

Empat abad silam, seorang gadis yang saleh datang ke tempat ini sebagai istri seorang “suami yang bangsawan dan hartawan.” Walaupun hidupnya penuh cobaan berat—suaminya selalu pergi berperang, dari 13 anak yang dia lahirkan, delapan di antaranya meninggal, mengalami kelaparan, wabah penyakit, invasi, dan perampokan pada masa yang dicatat sejarah sebagai Masa Sulit—Juliana Osorin tetap teguh dalam iman dan kedermawanannya. Setelah dia meninggal pada 1604, Juliana diangkat sebagai orang suci oleh Gereja Ortodoks Rusia dengan nama St. Juliana dari Lazarevo, nama desa di luar Murom tempat dia tinggal. Pengangkatannya sebagai santa bertujuan untuk menyadarkan masyarakat yang tengah panik dan putus asa, bahwa kesucian dapat dicapai melalui rumah dan keluarga, tanpa harus masuk biara. Ibuku yang diberi nama Juliana Ossorguine oleh orang tuanya adalah keturunan langsung St. Juliana dan menyandang namanya.

Saya pernah datang ke Murom sebelum Rusia bangkit dari masa sulit yang lain. Saat itu Maret 1992. Es di Sungai Oka mulai mencair, dan di mana-mana terasa adanya awal yang baru. Saya pernah menjadi kepala biro New York Times di Moskwa selama tahun-tahun terakhir Uni Soviet pada 1980-an dan saya kembali untuk melaporkan runtuhnya pemerintah komunis serta bangkitnya Rusia baru.

Periode itu kacau dan membingungkan, masa kekalutan dan harapan besar—tentang demokrasi, kebebasan ekonomi, dan mungkin yang terpenting, kebangkitan rohani. Di mana-mana Gereja Ortodoks Rusia bangkit dari abu era Soviet dan jutaan orang Rusia bergegas minta dibaptis. Meski sebagian besar di antara mereka tidak begitu paham arti penting sakramen itu dalam agama, mereka bersemangat merebut kembali masa lalu dan identitas yang berusaha dihapus komunis selama 75 tahun.

Ribuan gereja yang hancur—termasuk yang dijadikan depot, pabrik, dan gudang oleh Uni Soviet—dikembalikan ke fungsi aslinya dan akhirnya kembali semegah dahulu. Misalnya, Katedral Kristus Juru Selamat yang monumental kembali menjulang di tepian Sungai Moskwa. Katedral itu sebelumnya dihancurkan atas perintah Stalin pada 1931. Umat beragama yang bersembunyi selama masa Uni Soviet pun muncul dan mulai giat mendirikan paroki, panti asuhan, rumah singgah, dan sekolah. Ribuan lelaki diangkat menjadi pendeta dan beribu-ribu lainnya—lelaki dan perempuan—masuk biara, semuanya ingin memperoleh kembali tuntunan agamanya.

Selama hampir seribu tahun, Gereja Ortodoks dengan liturgi dan ikonografinya yang hebat menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan sejarah Rusia. Aku masih cukup Rusia untuk bisa tersentuh melihat agama nenek moyangku hidup kembali. Di saat yang sama, sebagai wartawan Barat, hatiku bertanya-tanya ke mana perjalanan ke masa lalu yang kerap diagungkan tetapi hanya sedikit dimengerti itu akan menuju. Akankah Gereja Ortodoks menjadi kekuatan ampuh bagi reformasi, berani menyatakan kebenaran kepada penguasa Kremlin? Ataukah akan melanjutkan peran yang dimainkannya selama berabad-abad pemerintahan tsar dan kembali menjadi hiasan dan alat negara yang otoriter?

Pertanyaan ini bukan hanya menyangkut gereja; masa depan Rusia juga dipertaruhkan. Sebagaimana ditulis pakar Rusia James H. Billington yang kini menjabat kepala Library of Congress beberapa tahun setelah keruntuhan Uni Soviet: “Kemampuan Gereja Ortodoks memisahkan diri dari negara dan menjadi hati nurani bangsa tersebut menjadi penting untuk menentukan apakah Rusia dapat mencapai budaya madani dan demokratis yang baru atau kembali pada kesewenangwenangan yang tertutup dan berbahaya.” Sejak saat itu, sepertinya kemungkinan yang lebih buruklah yang terjadi dengan para pemimpin gereja bersekutu dengan Kremlin yang agresif dan antidemokrasi. Namun, saat aku kembali ke Murom tahun lalu, aku bertanya-tanya mungkinkah sebagian kesalehan dan kedermawanan St. Juliana berlanjut(97) di gereja yang bangkit kembali.

Saya juga punya alasan untuk berpikir bahwa semangat keterbukaan dan mempertanyakan telah tumbuh di antara sejumlah kaum beriman. Ayahku Pastor (Reverend-102) Alexander Schmemann, seorang teolog dan pastor Ortodoks yang juga keturunan emigran Rusia seperti ibuku, terkenal di kalangan pembelot dan intelektual Uni Soviet lewat buku dan siarannya di Radio Liberty yang disiarkan pemerintah AS ke balik Tirai Besi. Sebagai orang Rusia tulen sekaligus orang Barat yang perwira, sebagian besar hidupnya dihabiskan di Amerika Serikat dan membaktikan sebagian besar di antaranya untuk mengikis kerak kesukuan dari agamanya dan memusatkan perhatian pada pesan universalnya. Pada 2005, catatan harian yang diatulis sejak 1973 hingga ajal menjemput pada 1983 diterbitkan di Rusia. Yang mengejutkanku, buku itu sangat sukses di kalangan umat beragama dan cendekiawan Rusia. Saya ingin tahu mengapa pemikiran pendeta Barat bisa demikian populer dan berpengaruh?

MUROM YANG KEMBALI AKU KUNJUNGI itu tak banyak berubah. Memang ada beberapa klub malam, ATM, pompa bensin, dan papan reklame, tetapi kemakmuran yang mengucur dari Moskwa sepertinya tak sampai ke sini. Masih belum ada jembatan permanen di Sungai Oka, hanya jembatan ponton pada musim panas. Lubang-lubang jalan masih berbahaya, sementara rumah-rumah kayu tampak usang dan doyong. Namun, ada satu perubahan dramatis: berbagai biara dan gereja yang terletak di tebing tinggi pada tepian sungai kini tampak gemilang dalam kebesarannya yang pulih.

Biara Spassky yang dibangun pada akhir abad ke-11 adalah salah satu biara tertua di Rusia. Tentara menggunakannya sebagai barak hingga 1995, dan meninggalkannya dalam keadaan rusak, bau, dan menyedihkan. Lalu, Gereja Ortodoks Rusia menugasi seorang pastor yang energik, Kirill Epifanov, untuk menghidupkan kembali pusat agama yang bersejarah tersebut. Kirill memulainya dengan membangun toko roti untuk menghidupi beberapa gelintir biarawannya. Kemudian, setelah mengumpulkan dana dan tenaga sebisanya, dia membangun kembali gereja dan memulihkan lagi tamannya. Hasilnya mencengangkan: Berbus-bus peziarah datang untuk mengagumi kemegahan abad pertengahan. Tamannya yang terawat memiliki aviari yang berisi burung merak, sementara toko rotinya yang berkembang menyebarkan semerbak aroma roti yang baru dipanggang.

Spassky hanyalah satu di antara ratusan biara yang hidup kembali saat iklim politik mencair, yang dimulai dengan perestroika Mikhail Gorbachev pada akhir 1980-an. Pada 1987 hanya ada tiga biara di Rusia; kini ada 478. Dulu hanya ada dua seminari; sekarang ada 25. Yang paling mencolok adalah ledakan jumlah gereja, dari sekitar 2.000 pada masa Gorbachev, kini mendekati 13.000. Gereja Ortodoks Rusia telah berkembang menjadi institusi besar dengan puluhan penerbit serta ratusan jurnal, surat kabar, dan situs web yang tumbuh pesat.

Saat saya temui, Pastor Kirill baru pulang dari ziarah ke biara-biara Ortodoks Timur di Gunung Athos, Yunani. Pria bertubuh besar, bersuara lantang, dan jenggot hitam lebat itu membagi-bagikan hadiah kepada para rahibnya seperti orang tua penyayang tetapi keras. Pastor yang selalu bergerak diiringi kibaran jubah pendetanya itu terlihat seperti pemimpin teladan yang diperlukan oleh gereja yang baru hidup kembali—seorang pastor dan manajer yang penuh energi, antusiasme, dan iman. Namun, saat menjamu teh di ruang kerja bawah tanahnya, Pastor Kirill meredup.

Menurut Kirill, mengumpulkan uang dan memugar bangunan adalah bagian yang mudah. Peziarah? Sebagian besar adalah “wisatawan religius” yang datang untuk mengumpulkan suvenir. Bahkan biarawannya berpindah-pindah, hari ini di sini, esok di biara lain. Gereja masih belum memiliki kehidupan komunal yang sejati, tidak ada kebangkitan rohani yang sesungguhnya.

“Rezim Uni Soviet adalah produk dari kekafiran, tapi setidaknya, rejim itu membuat umat beragama hidup dalam api iman,” ujar Kirill. “Kini, kami lebih disibukkan dengan melawan sekte-sekte lain dan ‘musuh’ daripada penebusan dosa. Mereka menghancurkan gereja dari dalam.”

Banyak orang, yang buru-buru minta dibaptis saat fajar kebebasan menyingsing, mengakhiri keterlibatan rohani mereka sebatas itu saja, ujarnya. Pendeta dan umat Kristiani lain juga menyuarakan ratapan yang sama tentang turunnya minat beragama di berbagai lapisan masyarakat Rusia, di samping tergelincirnya sikap gereja resmi ke arah xenofobia dan nasionalisme.

Angka kehadiran jemaat di gereja tidaklah pasti karena Gereja Ortodoks Rusia tidak menyimpan daftar anggota atau buku catatan paroki. Menurut Nikolai Mitrokhin, seorang sejarawan dan kritikus gereja, sekitar 60 persen orang Rusia kini menganggap diri mereka sebagai umat Ortodoks—mereka mungkin saja dibaptis, dinikahkan, dan dimakamkan di gereja—tetapi kurang dari satu persen yang benar-benar datang ke gereja sedikitnya sekali sebulan. Sumber lain menyebut angkanya mendekati 10 persen. Salah satu alasan tingkat kehadiran yang rendah ini mungkin karena Gereja Ortodoks kurang ramah pada kaum abangan—sebagaimana yang saya lihat di Murom.

Relikui St. Juliana kini bersemayam di atas pilar dalam Gereja St. Nicholas yang kuning cerah, gereja yang bertengger di tebing yang curam. Saat saya datang untuk berdoa, dua bayi sedang dibaptis. Pastor tambun yang berpeluh tampak tidak sabar menghadapi orang tua dan orang tua baptis yang masih muda, sepertinya ingin cepat-cepat selesai, tak terlalu berminat membuat upacara tersebut menjadi ritual yang dapat dipahami.

“Ayo, ayo, lepaskan bajunya,” bentak si pastor. “Bagaimana saya bisa memasukkannya ke air dalam keadaan seperti ini? Biar dia yang memegang lilin. Bukan! Pakai tangan kanan! Hei, kamu ngapain?” Kedua bayi itu menjerit, lampu blitz kamera menyala, orang tua sibuk, dan tak lama kemudian acara pembaptisan selesai.

Di bagian lain gereja itu, seorang wanita paro baya bertengkuluk putih yang diikat erat memarahi saya karena memotret relikui St. Juliana. “Apakah pastor memberkatimu untuk mengambil foto?” desaknya. “Foto tanpa pemberkatan hanya mendatangkan kejahatan!”

Karena pernah tinggal beberapa tahun di Uni Soviet, saya kenal jenis wanita seperti ini. Selalu ada wanita seperti ini di beberapa gereja yang masih buka pada saat itu, mereka mengepel lantai, mengurus tempat lilin, dan berdiri sepanjang misa sementara ketidaksukaan pemerintah Soviet membuat orang lain takut datang ke gereja. Dapat dikatakan, mereka menjaga gereja selama masa pengekangan yang panjang. Mereka adalah penjaga harta dan budaya: Berdiri seperti ini! Menghadap altar! Tutupi kepalamu! Buat tanda salib! Mereka menyebalkan, tapi gereja banyak berutang budi pada mereka. Jadi, saya melakukan hal yang dilakukan orang Rusia lain apabila menghadapi orang-orang militan ini: Saya membungkuk dengan patuh dan menyimpan kamera.

Kepatuhan dan ritual menguasai Gereja Rusia sejak hari penting tahun 988 tatkala Pangeran Vladimir si penguasa Rus Kiev memerintahkan rakyatnya dibaptis di Sungai Dnieper. Menurut legenda yang dikenal setiap orang Rusia, Vladimir mengirim utusan ke luar negeri dalam rangka mencari agama bagi negaranya yang menyembah berhala. Para utusan yang dikirim ke Konstantinopel pulang dengan terkagum-kagum akan ritual gereja Yunani Timur yang mereka lihat di Hagia Sophia yang saat itu merupakan katedral terbesar di dunia. “Kami tak tahu apakah berada di surga atau di bumi,” lapor mereka.

Agama yang diimpor Pangeran Vladimir membentuk bangsa Rusia dan kemudian pada gilirannya agama itu dibentuk oleh bangsa tersebut. Biara Ortodoks menjadi jantung spiritual, ekonomi, budaya, dan terkadang, pertahanan bangsa itu. Gereja yang menyebar di seluruh Rusia itu kemegahannya sangat menakjubkan dan ritualnya tak berubah dari masa ke masa. Hingga kini bahasa yang dipakai gereja adalah bahasa Slavonik Gerejawi Kuna yang arkais namun merdu. Pastor yang mengenakan jubah berkilau dipisahkan dari jemaat oleh tabir ikon yang rumit, sementara paduan suara menyanyikan sebagian besar liturgi yang kerap memuat himne karya para komposer terbesar Rusia. Bagi jemaat, pengalaman ini seperti masuk dunia lain, bertolak belakang dengan kebaktian Baptis yang singkat dan sederhana.

Pada kunjungan pertama ke Murom pada 1992, saya berdiri terkagum-kagum di depan tempat relikui St. Juliana yang saat itu disimpan di katedral yang baru dibuka kembali. Di sampingnya ada tempat relikui dua pangeran abad ke-12, St. Constantine dari Murom dan putranya St. Michael. Constantine datang ke tempat yang dulu terpencil ini untuk menanamkan agama dan pengaruhnya. Inilah cerita lama Rusia: pangeran pahlawan yang budiman mengembangkan Kerajaan Ortodoks, sementara pekerja gereja yang tak kenal lelah menopang kerajaan itu selama masa krisis. Selama berabad-abad, orang Rusia meyakini diri mereka sebagai masyarakat dengan spiritualitas dan misi istimewa, sebagai “Rusia Suci”.

KEAGUNGAN Rusia Suci yang angker sangat terlihat di kediaman Patriark Alexy II, pemimpin Gereja Ortodoks Rusia yang baru saja wafat, di Moskwa. Para pemuka agama berjubah hitam yang pendiam menyebutnya hanya dengan “Yang Mulia”. Lukisan minyak di atas kanvas pada dinding papan hitam menggambarkan peristiwa-peristiwa epik dalam sejarah religius Rusia. Para prodiakon memberitahu pengunjung harus berdiri di mana saat Yang Mulia masuk ruangan.

Namun, Sang patriark masuk ke ruangan dengan senyum dan salam hangat (kami pernah bertemu beberapa kali di awal 1990-an). Dia meminta teh, lalu dengan ramah menawarkan cokelat. Walaupun menderita gangguan jantung dan pernapasan yang terbukti fatal tak sampai setahun setelahnya, Alexy masih kuat dan aktif untuk ukuran orang berusia 79 tahun. “Setelah didiagnosis sakit, saya tak sesering dulu memimpin misa, tapi saya tetap mengadakan 150 misa setahun,” ujarnya. Lalu, dengan mata bersinar: “Dokter yang mengukur tensi darah saya menyatakan bahwa tekanannya agak tinggi sebelum misa, namun selalu normal setelahnya.”

Alexy memimpin Gereja Ortodoks Rusia sejak gereja itu lahir kembali pada 1990 sampai dia meninggal pada Desember 2008. Kisah Alexy adalah kisah Gereja Ortodoks Rusia dan pergumulannya dengan negara. Alexy yang lahir di Estonia pada 1929 dari keluarga bangsawan emigran Rusia, bertugas sebagai pastor dan uskup selama 40 tahun di bawah rezim Uni Soviet yang mereduksi gereja menjadi “kultus” yang nyaris tak diakui dan memaksa “abdi kultus” itu terus-menerus ikut dalam permainan persekongkolan dan penipuan yang memalukan.

Alexy tak pernah menyangkal bahwa dia bekerja sama dengan “organ” pemerintah, tetapi dia menegaskan bahwa semua yang dia lakukan adalah demi menyelamatkan fungsi mendasar gereja itu. “Pada masa-masa penindasan terberat, gereja tidak kabur ke katakomba,” ujarnya. “Gereja tetap melaksanakan sakramen dan doa.”

Alexy menjadikan hal itu sebagai misi pribadi dalam mengidentifikasi “martir dan penganut yang baru”—para korban penyiksaan komunis yang di mata gereja mati demi agama Kristen. Dia meluangkan waktu Sabtu keempat setelah Paskah untuk misa khusus yang memperingati setidaknya 20.000 “musuh negara Soviet” yang pada puncak Pembersihan Besar 1937-38 ditembak dan dikubur secara massal di selatan Moskwa.

Di sanalah saya bergabung bersama ribuan penduduk Moskwa saat sang patriark, bersama puluhan uskup dan ratusan pastor, merayakan Ekaristi. Beberapa orang menancapkan lilin menyala ke dalam gundukan berumput yang kini menutupi parit tempat para korban dibunuh dan dikubur. Sebuah baliho menampilkan foto beberapa orang yang meninggal di sini: pendeta berjenggot, petani berambut kusut, wanita Yahudi, pelajar—mata mereka membelalak ketakutan atau setengah tertutup pasrah. Sebuah grafik mencatat jumlah yang terbunuh hari demi hari, bulan demi bulan. Pada 10 Desember 1937: 243 dieksekusi. Total bulan itu: 2.376. Pada 28 Mei 1938: 230. Total bulan itu: 1.346.

Ada keluhan bahwa gereja hanya memperingati anggotanya padahal sangat banyak orang dari golongan lain yang terbunuh. Dan memang, ribuan uskup, pastor, diakon, dan biarawati yang meninggal di sini terbaring bersama kaum Bolsyewik, pendukung monarki, pendukung Trotsky, orang yang dituduh kontrarevolusioner, Yahudi, pengungsi komunis Jerman, kulak, “tunasosial”, dan bahkan orang Cina yang menjadi tukang cuci di Moskwa, semuanya terjerat dalam pesta kematian Stalin.

Namun, Patriark Alexy berketetapan hati: “Kami kini kembali ke sejarah kami. Kami harus mengingatnya.” Dia berbicara seakan orang-orang yang telah lama mati ini saudara kandungnya: “Dapatkah Anda bayangkan? Archimandrite Kronid, wakil kepala biara Trinity–St. Sergius Lavra yang terakhir, berusia 83! Dia dibawa dengan tandu lalu ditembak!” Kebencian terhadap kaum gereja yang membara di kalangan komunis revolusioner disulut oleh fakta sejarah. Selama berabad-abad Gereja Ortodoks Rusia bertindak sebagai kaki-tangan tsar. Tsar adalah kepala gereja dan semua penghargaan, promosi, serta penunjukan dalam gereja harus melalui keputusan istana.

Pada 1990 Alexy menjadi patriark pertama sejak Revolusi Rusia yang dipilih tanpa intervensi langsung pemerintah. “Kami berhasil membuat hubungan yang benar-benar baru dengan negara,” ujarnya, “satu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.” Dia menegaskan bahwa gereja tidak berniat menjadi gereja negara dan menyatakan bahwa dia melarang pemuka agamanya memegang jabatan publik.

Namun, para pengeritik mengatakan bahwa Alexy dan para uskup senior dengan senang hati menerima simbol-simbol gereja negara dan hampir tidak berbuat apa-apa untuk menentang perubahan Kremlin ke arah pemerintahan otoriter. Walaupun Konstitusi Rusia mengharuskan pemisahan gereja dan negara, tiga presiden pasca-Uni Soviet—Boris Yeltsin, Vladimir Putin, dan Dmitry Medvedev—datang secara teratur ke gereja dan dipublikasikan secara luas, sementara uskup dan pastor Ortodoks selalu diundang dalam acara negara.

Kedekatan ini memberi kesan di luar negeri bahwa Gereja Ortodoks bekerja sama dengan Kremlin untuk menciptakan autokrasi Rusia yang baru. Namun, pejabat gereja membantah hal ini. Mereka menyebutkan banyak contoh perbedaan dan sengketa yang belum selesai antara gereja dan pemerintah, mulai dari kuasa atas peninggalan keagamaan hingga pendidikan agama. Jika gereja dan negara bekerja sama, menurut mereka, itu dalam rangka pencarian identitas baru pasca-Soviet yang dalam dan kompleks. Dalam pencarian itu, sejarah kekaisaran Rusia hanyalah salah satu unsur, dan hasil akhirnya masih tidak pasti.

Namun, status Gereja Ortodoks yang didukung pemerintah sering merugikan denominasi dan agama lain—terutama yang dianggap, benar ataupun salah, datang dari Barat.

***

DI PINGGIRAN kota Rostov-on-Don di selatan, Alexander Kirillov membuka gerbang gereja Baptis yang besar, yang komunitasnya baru saja selesai dibentuk. Menurut penatua itu, pemerintah memanfaatkan masalah birokratis—tidak menyerahkan formulir tahunan—lalu menutup asosiasi yang memayungi gereja itu. “Kami memang salah. Tapi sebenarnya mereka bisa saja mengirim pemberitahuan agar kami menyerahkan formulir itu.” Alasan utama pelarangan itu, katanya, adalah karena gerejanya tidak termasuk kelompok Baptis arus utama yang disetujui pemerintah.

“Mereka tidak terbiasa menerima kenyataan bahwa ada denominasi selain yang ‘resmi’. Jadi dalam anggapan mereka, kami tidak punya hak hidup,” ujar Kirillov. “Gereja Ortodoks adalah denominasi yang dominan, jadi tentu saja mereka terwakili di tiap lingkaran pemerintahan. Saya menonton berita: Mereka membuka institut artileri baru, taruna baru berdatangan, dan ada pastor Ortodoks. Mengapa?”

Salah satu alasannya ada di tahun-tahun awal pasca-Uni Soviet ketika euforia kebebasan berganti dengan kekecewaan pada konsumerisme, korupsi, dan kekacauan yang menyertainya. Kaum reaksioner di kalangan pemerintah dan gereja menuduh Barat sengaja mempermalukan Rusia dan hal ini mengompori kecurigaan pada denominasi dan kelompok yang berkaitan dengan demokrasi liberal. Di kalangan sayap kanan, ada suara agar Rusia Suci kembali ke akarnya.

Beberapa konsep yang sangat mundur dan keliru beredar secara terbuka di gereja-gereja reaksioner dan di situs web nasionalis. Salah satunya adalah usaha mengangkat Rasputin dan Ivan yang Ganas sebagai santo. Dua tokoh berbahaya dalam sejarah Rusia itu direka ulang oleh para ekstremis sebagai “pembela Rusia Suci”.

Di luar St. Petersburg, istana musim panas yang melapuk milik para tsar dan bangsawan agung Rusia lama berdiri di tepi Teluk Finlandia. Di balik reruntuhan istana seperti itu berdiri sebuah kapel mungil yang baru setengah dipugar. Di dalamnya saya melihat sesuatu yang membuat saya terperanjat—ikon besar Joseph Stalin. Dia tidak punya lingkaran cahaya seorang santo, tetapi ada santo yang memberkatinya.

Ikon tersebut melukiskan legenda ketika Stalin saat pecah Perang Dunia II diam-diam mengunjungi St. Matryona dari Moskwa, seorang perempuan buta lumpuh yang banyak didatangi orang untuk minta bimbingan rohani sampai dia meninggal pada 1952. Menurut legenda itu, dia menyarankan agar diktator Uni Soviet itu tidak lari dari Moskwa, tetapi bertahan menghadapi serangan gencar Pasukan Jerman.

Pastor kapel itu, Evstafy Zhakov, adalah seorang nasionalis berapi-api yang sangat dihormati jemaatnya karena khotbahnya karismatis. Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar sayap kanan Zavtra, dia membela ikon tersebut dengan menjelaskan bahwa Rusia memiliki tradisi panjang pemberkatan pejuang oleh orang suci sebelum berperang.

“Tapi Stalin ateis,” sela pewawancara.

“Bagaimana Anda tahu?” balas Pastor Evstafy. Dua patriark saat perang menyatakan bahwa Stalin adalah orang beriman, “dan saya lebih memercayai mereka daripada semua orang liberal dan demokrat.”

SEMENTARA DI BEBERAPA SUDUT TEMARAM gereja para pendeta seperti Pastor Evstafy menjadikan pembunuh massal sebagai pahlawan Rusia Suci, banyak pastor arus utama yang memperjuangkan agenda yang lebih mencerahkan: mengobati pencandu narkoba, menolong anak-anak telantar, dan memberi pengampunan Kristus kepada para penjahat.

Di sebuah panti asuhan yang terang-benderang di St. Petersburg, Nikita yang berusia empat tahun memperlihatkan mainannya kepada saya dan dengan bangga mengatakan bahwa mamanya tak lama lagi akan memberinya hadiah. Dia belum mengerti bahwa dia ditempatkan di panti ini karena ibunya pencandu narkoba—petaka yang berkembang pesat di Rusia—dan si ibu tidak dapat lagi memelihara dirinya. Pastor Alexander Stepanov telah mengasuh mereka yang terbuang semenjak meninggalkan pekerjaannya di bidang fisika untuk menjadi pendeta sekitar 20 tahun lalu. “Saya langsung diperintahkan masuk penjara,” gurau Alexander sambil mengingat bagaimana dia memulai kepastorannya dengan mendiskusikan Injil bersama narapidana. “Saya tidak tahu apa-apa tentang dunia gigi emas dan tato.”

Semua kerja kemanusiaan swasta dilarang keras di Uni Soviet—tidak ada masalah sosial di surga para pekerja itu—tetapi setelah keruntuhan komunisme, Pastor Alexander tidak kekurangan sukarelawan, sementara gereja Barat juga cepat menawarkan bantuan. Kini, Pastor Alexander yang bekerja dari dua bangunan yang dipugar di tepi laut St. Petersburg mengelola gereja paroki, panti asuhan, rumah yatim piatu, rumah singgah bagi remaja bermasalah, serta satu korps relawan yang mengunjungi rumah sakit dan penjara. Dia juga memiliki stasiun radio di loteng, dan kantor perkemahan musim panas di ruang bawah tanah. Tidak ada ruang ataupun waktu yang tersia-sia—ponselnya berdering (dengan nada lonceng gereja) berulang-ulang.

Kini banyak gereja memiliki semacam program bantuan sosial dan ada banyak relawan, kata Pastor Alexander. Namun, pemerintah berusaha dengan sengit memperoleh kembali monopolinya dalam kerja sosial. “Pemerintah tidak ingin mendukung prakarsa sosial gereja,” ujarnya dengan sedih. “Kami terpaksa mengais sisa-sisanya.”

Karena hanya sedikit atau bahkan tidak menentang “pemerintahan otoriter yang tertutup dan berbahaya” yang diperingatkan James H. Billington 15 tahun lalu, gereja gagal melewati ujian yang penting. Namun, semua orang yang pernah menyaksikan cinta dan usaha luar biasa yang dicurahkan untuk memugar gereja dan menghidupkan kembali pekerjaan amal, tak mungkin meragukan bahwa ada sesuatu yang baik dan menjanjikan yang bangkit di Rusia.

Saat saya berjalan di dalam rumah yatim piatu di St. Petersburg atau di biara yang dipugar di Murom, saya terkagum-kagum oleh fakta murni bahwa agama yang sedimikian lama ditindas dengan begitu kejam telah lahir kembali. Saya juga mulai mengerti mengapa buku harian ayah saya demikian populer di kalangan orang Rusia. Jurnal yang dibuatnya selama sepuluh tahun terakhir hidupnya merupakan perjalanan mengarungi gagasan, buku, penemuan, perjuangan, dan kebahagiaan seorang penganut dan pastor Ortodoks. Dia mengalami rasa frustrasi dan kesedihan yang sama seperti yang dikenal oleh orang Rusia di masa sulit terakhir ini, tetapi sesulit apa pun pertempuran itu—bahkan pertempuran terakhirnya melawan kanker—dia, seperti St. Juliana, menerimanya sebagai takdir hidup seorang Kristiani. Itulah intinya: Dalam pemikiran dan hidup sehari-hari pendeta Barat ini, orang Rusia menemukan penegasan bahwa rasa ragu, frustrasi, dan kebingungan mereka tidaklah salah, bahwa mereka sebenarnya normal, asalkan tetap teguh dalam iman dan kedermawanan.

***

MINGGU PAGI di Murom, saya terbangun pagi-pagi oleh dentang lonceng gereja. Para peziarah berkumpul di biara, tapi pembantu Pastor Kirill yang baik hati menawarkan mengantarku ke Lazarevo, desa St. Juliana. Gereja tua tempat dia beribadah akhirnya dibuka kembali.

Kami berkendara melewati pabrik militer Soviet yang terbengkalai, hingga sampai ke kompleks becek rumah-rumah kayu yang mengelilingi gereja besar lapuk yang sedang dipugar. Batu bata dan sak semen bertumpuk di dinding, dan pintunya dicapai melalui jembatan papan yang bergoyang. Di dalamnya, sebuah tabir ikon sederhana terpasang di altar samping; di sisi lainnya ada ikon Juliana.

Sekitar dua puluh orang penduduk setempat, sebagian besar perempuan, berkumpul untuk mengikuti ibadat Minggu. Tanpa banyak cakap, tanpa politik, tanpa pencarian jiwa, hanya permohonan diam-diam kepada si wanita rendah hati yang tinggal, berdoa, dan menderita di sini, sama seperti mereka: “O engkau yang diberkati, berikan juga syafaat bagi tanah Rusia, dan bagi semua yang tersebar, sehingga mereka menerima kedamaian dan kemakmuran dan segala yang lebih kembali pada kesalehanmu dahulu kala.…”

Jiwa-jiwa yang Gelisah


Ritual pengorbanan manusia di China pada zaman dahulu telah berubah menjadi upacara perawatan makam yang modern. Namun, para arwah masih menuntut sesuatu.

Oleh Peter Hessler
Foto oleh Ira Block

Di desa Spring Valley, para penduduk jarang berbicara tentang mereka yang telah mati, tidak pula mengenangnya. “Tempat ini sejak dulu selalu miskin,” kata seorang penduduk menjawab pertanyaan saya mengenai sejarah desa ini, dan kemudian mereka membisu. Penduduk di sini memiliki sedikit foto dari zaman dulu dan hanya segelintir catatan sejarah. Tembok Besar China berdiri tidak jauh dari desa ini, namun bahkan reruntuhannya yang megah pun tidak berhasil menarik perhatian mereka. Pada tahun 2001, saya mulai menyewa sebuah rumah di desa tersebut. Sebagian alasannya karena saya penasaran dengan sejarah daerah ini, namun tidak lama kemudian saya menyadari bahwa kilasan sejarah desa ini telah memudar dengan cepat. Seperti kebanyakan orang China dari generasi sekarang, penduduk desa lebih memusatkan perhatian mereka pada kesempatan yang ditemukan saat ini: harga panen lokal yang meningkat, meledaknya angka pembangunan yang membawa pekerjaan baru di Beijing yang jaraknya tak sampai dua jam.

Hanya satu hari dalam setahun mereka berpaling ke masa lalu. Itu di bulan April, ketika Festival Qingming berlangsung. Qingming berarti “hari yang sangat cerah” dan selama lebih dari satu milenium festival ini telah dirayakan dalam beragam bentuk di berbagai daerah di China. Pemujaan terhadap leluhur bahkan dimulai di masa yang lebih awal lagi. Lebih dari 5.000 tahun yang lalu, kebudayaan China bagian utara telah menghargai arwah melalui upacara yang sangat tertata rapi. Gaung dari tradisi tersebut masih bertahan hingga hari ini, dan sepanjang tahun pertama tinggal di desa ini, ketika liburan tiba, saya menemani para tetangga dalam perjalanan ritual mereka menuju pemakaman.

Hanya kaum lelaki yang diperbolehkan berpartisipasi. Semuanya dinamakan Wei, dan sekitar selusin anggota dari klan besar ini berangkat sebelum fajar, mendaki jalan terjal menuju gunung di belakang desa. Mereka mengenakan pakaian kerja biasa dan memanggul tas anyaman pipih serta sekop di bahu. Mereka tidak saling mengobrol maupun berhenti untuk istirahat. Mereka bergerak dengan ketegasan serombongan pekerja—dengan alat yang siap digunakan, berjalan melintasi pepohonan aprikot yang kuntumnya berkilau seperti bintang terkena sinar matahari fajar. Setelah 20 menit kami sampai di pemakaman desa. Pemakaman itu terletak tinggi di gunung, tempat di mana gundukan-gundukan tanah telah diatur dalam barisan rapi. Setiap baris mewakili sebuah generasi dan para lelaki mulai bekerja di baris terdepan, memelihara kuburan mulai dari yang paling akhir meninggal—ayah dan ibu, paman, dan bibi. Mereka menyiangi tanah dan menimbun tanah baru di atasnya. Mereka meninggalkan kado khusus seperti botol-botol minuman alkohol atau beberapa bungkus rokok. Dan mereka membakar uang kertas untuk digunakan di kehidupan setelah mati. Uang kertas tersebut memiliki tanda air bertuliskan “PT Bank Surga.”

Setiap penduduk memberikan perhatian khusus terhadap kerabat dekatnya, dimulai dari barisan ayah ke kakek dan kakek buyut. Hampir tidak ada kuburan yang memiliki penanda, dan ketika para lelaki bergerak ke barisan belakang, mereka semakin tidak yakin mengenai identitas leluhurnya. Pada akhirnya, pekerjaan tersebut menjadi pekerjaan bersama. Setiap orang menimbun tiap gundukan dan tidak ada seorang pun yang tahu kuburan siapakah itu. Kuburan terakhir berdiri sendirian, perwakilan tunggal dari generasi keempat. “Lao zu,” kata seorang penduduk. “Sang leluhur.” Tidak ada nama lain untuk sang anggota klan asli, yang rinciannya telah hilang selama bertahun-tahun.

Ketika mereka selesai bekerja, sinar pagi telah berpijar di belakang puncak sisi timur. Seorang pria bernama Wei Minghe menjelaskan bahwa setiap gundukan melambangkan sebuah rumah bagi para arwah, dan tradisi setempat mengharuskan mereka untuk menyelesaikan ritual Qingming sebelum fajar. “Jika kamu menimbun makam sebelum matahari terbit, artinya di alam baka para arwah mendapat atap genteng,” ujarnya. “Jika kamu tidak melakukannya tepat waktu, para arwah mendapat atap jerami.”

Wei Minghe hampir berumur 70 tahun. Dia masih memiliki tubuh kekar seperti seorang petani, namun kini ia tinggal di sebuah apartemen pensiunan di kota Huairou yang letaknya tak jauh dari sana, meskipun setiap tahun dengan taat ia kembali ke desa untuk melaksanakan ritual Qingming. Hari itu saya memberinya tumpangan kembali ke kota. Ketika saya bertanya apakah ia merindukan Spring Valley, ia berkata, “Sebelum apartemen ini, saya tidak pernah tinggal di sebuah tempat dengan suhu yang nyaman.” Pandangannya mengenai kemajuan sungguh masuk akal, sama seperti harapan para leluhur—atap genteng versus atap jerami.

Sudut pandang orang China terhadap kehidupan setelah mati telah lama dianggap oleh bangsa Barat sebagai sesuatu yang bersifat keduniawian. Di masa kuno, pandangan terhadap alam baka cenderung pragmatis, materialistis, bahkan birokratis—nilai-nilai yang muncul dalam temuan arkeologi masa kini. Ketika kuburan para bangsawan diekskavasi, seringkali isinya ditandai dengan karakter pengorganisasian yang rumit dan kekayaan yang megah. Tradisi mengubur mayat bersama benda berharga telah tercatat sejak setidaknya milenium kelima sebelum Masehi, ketika beberapa makam mengandung batu giok dan tembikar.

Hingga berlangsungnya zaman Shang, sebuah kebudayaan yang berkembang subur di utara China antara tahun 1600 hingga 1045 SM, tidak ada bukti tertulis tentang bagaimana masyarakat kuno memandang kehidupan setelah kematian. Tulisan China pertama yang diketahui muncul pada tulang ramalan era Shang—tulang belikat sapi jantan dan cangkang kura-kura yang digunakan dalam ritual di mahkamah kerajaan. Setelah dipecahkan dan ditafsirkan, tulang-tulang tersebut merupakan alat komunikasi dengan dunia gaib, termasuk alat untuk menyampaikan pesan kepada leluhur keluarga kerajaan. “Kami sering melaporkan masalah-masalah yang dihadapi sang raja kepada Kakek Ding.” “Ketika Shaofang (musuh) datang, kami mengadakan laporan ritual kepada Ayah Ding.”

Para arwah dipercaya memiliki kekuatan besar atas kejadian sehari-hari. Leluhur yang tidak bahagia dapat menyebabkan wabah penyakit atau bencana di antara mereka yang masih hidup, dan banyak tulang ramalan yang menuliskan betuk-bentuk pengorbanan manusia untuk menenangkan arwah yang mengamuk. Di sebuah kompleks makam di Provinsi Henan, ekskavasi telah mengungkap lebih dari 1.200 liang pengorbanan, sebagian besar berisi tumbal manusia. Seorang arkeolog pernah memberi tahu saya bahwa ia telah menghitung ada 60 cara berbeda untuk membunuh manusia yang dijadikan korban pada upacara Shang. Namun ia juga mengingatkan saya bahwa hal ini adalah ritual, bukan pembunuhan dan kejahatan. Dari sudut pandang Shang, pengorbanan seorang manusia merupakan sebuah bagian dari aturan yang sangat tertata rapi. Keluarga Shang menjalankan sebuah penanggalan yang ketat, dengan hari-hari pengorbanan tertentu yang didedikasikan untuk leluhur tertentu. Penanggalan tersebut sangat terperinci, hampir mirip sebuah penyelidikan ilmiah. Sebagai contoh, seorang ahli nujum dengan sabarnya membuat 70 keping patahan tulang ramalan untuk menentukan leluhur mana yang bertanggung jawab atas sakit gigi sang raja yang masih hidup.

Adapun para arwah, mereka berfungsi dalam birokrasi yang lebih luas. Gelar bangsawan diubah setelah mati untuk menandai transisi ke peran yang baru. Tujuan dari pemujaan terhadap leluhur bukan untuk mengingat kehidupannya ketika masih di dunia. Sebaliknya, pemujaan tersebut bertujuan untuk mendapatkan bantuan dari arwah yang telah dianugerahi tanggung jawab khusus. Banyak tulang ramalan yang menyuratkan permintaan terhadap leluhur untuk membuat sebuah penawaran dari dirinya kepada kekuatan lain yang lebih besar.

David N. Keightley, ahli sejarah di University of California, Berkeley memberi tahu saya bahwa ia belum menemukan jawaban tentang bagaimana inskripsi tulang ramalan dapat menjelaskan mengenai hierarki dan keteraturan. “Arwah yang baru meninggal mengurusi masalah yang lebih kecil, mereka yang telah lebih lama meninggal mengurusi masalah yang lebih besar,” katanya. “Hal ini merupakan suatu cara untuk mengatur dunia.”

Setelah dinasti Shang runtuh pada tahun 1045 SM, peramalan menggunakan tulang ramalan dilanjutkan oleh keluarga Zhou, dinasti yang memerintah beberapa bagian di utara China hingga abad ketiga SM. Namun praktik pengorbanan manusia secara bertahap mulai berkurang, dan makam para bangsawan mulai menonjolkan mingqi, atau benda arwah sebagai pengganti benda asli. Patung manusia dari keramik menggantikan peranan manusia asli. Patung tentara terakota yang digagas oleh kaisar pertama China, Qin Shi Huang Di, yang menyatukan negeri tersebut dibawah kepemimpinan satu dinasti pada tahun 221 SM, merupakan contoh yang paling populer. Patung pasukan yang berjumlah sekitar 8.000 buah dan berukuran sebesar manusia asli dimaksudkan untuk melayani kaisar di kehidupan alam baka.

Dinasti berikutnya, Han, meninggalkan koleksi barang pemakaman yang kurang bernuansa militer. Makam Han Jing Di yang memerintah dari 157 hingga 141 SM telah menghasilkan deretan yang mengagumkan dari benda roh yang didesain untuk mencerminkan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari: reproduksi bentuk babi, domba, anjing, kereta perang, sekop, gergaji, kapak, alat pemahat, kompor, alat pengukur. Bahkan terdapat cap resmi, atau cap tinta untuk digunakan di birokrasi alam baka.

Dalam sebuah kebudayaan sekaya dan sekuno China, garis sejarah dari masa lalu hingga masa kini tidak pernah lurus sempurna, dan pengaruh-pengaruh yang tidak terhitung jumlahnya telah membentuk dan mengubah sudut pandang orang China tentang kehidupan setelah kematian. Beberapa filsuf Tao tidak memercayai adanya kehidupan setelah kematian, namun kepercayaan Buddhis yang mulai mempengaruhi pemikiran orang China pada abad kedua Masehi, memperkenalkan konsep kelahiran kembali setelah mati. Konsep mengenai hadiah dan hukuman abadi juga terserap dari ajaran Buddha dan Kristen.

Namun banyak unsur dari kebudayaan awal seperti Shang dan Zhou yang tetap dapat dikenali sepanjang milenium. Orang China melanjutkan pemujaan terhadap leluhur mereka, dan mereka tetap membayangkan kehidupan setelah kematian dari segi material dan birokratis. Pengalaman-pengalaman yang nyaris mematikan menghasilkan legenda populer mengenai kecerobohan beberapa juru tulis tingkat rendah di alam baka yang salah menuliskan nama di buku kematian, nyaris mencabut nyawa manusia sebelum kesalahannya diketahui.

David Keightley memberi tahu saya bahwa sudut pandang tradisional China mengenai kematian merupakan pemikiran yang optimis. Tidak ada konsep dosa dasar, sehingga memasuki alam baka tidak membutuhkan perubahan yang radikal. Dunia tidak memiliki kecacatan yang fatal; hanya menyediakan contoh yang sangat layak untuk tahap berikutnya. “Di dunia Barat, kematian adalah mengenai proses kelahiran kembali, penebusan dosa, penyelamatan,” katanya. “Dalam tradisi China, Anda meninggal, namun tetap menjadi diri yang sama ketika masih hidup.”

Keightley percaya bahwa gagasan tersebut berkontribusi dalam menjaga stabilitas masyarakat China. “Kebudayaan yang melibatkan pemujaan terhadap leluhur pasti merupakan kebudayaan yang konservatif,” katanya. “Anda tidak akan menemukan sesuatu yang baru yang menarik, karena hal tersebut akan menjadi tantangan bagi para leluhur.”

Perubahan terbaru yang terjadi di China sama sekali bukan hal yang konservatif, dan kondisi ini berdampak besar terhadap para arwah. Pemakaman seringkali diratakan untuk pembangunan gedung, dan banyak warga China di pedesaan telah berpindah ke kota, membuat perjalanan kembali ke desa untuk melaksanakan ritual Qingming menjadi mustahil. Beberapa orang mencoba pilihan lain dalam merawat makam—terdapat beberapa situs Internet yang membolehkan generasi keturunan merawat makam di dunia maya. Namun, membayangkan masa lalu di negara yang penuh perubahan merupakan hal yang sulit, banyak tradisi yang menghilang dengan mudah.

Tampaknya jumlah orang yang merayakan Qingming tiap tahunnya di Spring Valley makin menurun. Namun hari libur Qingming tetap bertahan, dan beberapa unsur masih mencerminkan ritual kuno. Kuburan desa ditata dengan kecermatan birokratis, setiap generasi di barisannya tersendiri. Kehadiran benda-benda materi masih dirasa penting: rokok, minuman alkohol, dan uang kertas untuk para arwah. Mungkin suatu hari nanti bahkan tradisi semacam ini akan ditinggalkan, namun untuk saat ini hal tersebut masih menghubungkan masa lalu dengan sekarang.

Tiga tahun setelah festival Qingming pertama yang saya ikuti, hanya tujuh penduduk desa yang melakukan perjalanan mendaki gunung menuju ke pemakaman. Pada puncak gunung, sebuah makam baru terbentang di barisan pertama, dihiasi sebuah lilin yang bertuliskan “Muda selamanya.” Saya bertanya kepada tetangga saya siapa yang dikuburkan di sini.

“Wei Minghe,” katanya. “Anda memberikan tumpangan pulang kepadanya beberapa tahun yang lalu. Ia meninggal tahun lalu. Saya tidak ingat bulan apa.”

Lelaki lain berbicara. “Ini pertama kalinya kami menandai makamnya.”

“Tahun lalu ia menimbun tanah di kuburan orang lain,” kata yang lainnya. “Tahun ini kami menimbun tanah di kuburannya.”

Saya mengambil sekop dan membantu menimbun. Seseorang menyalakan sebatang rokok Red Plum Blossom dan menancapkannya di timbunan tanah. Wei Minghe akan menyukai penataan seperti itu, dan ia akan menghargai pemilihan waktunya. Kami meninggalkan pemakaman sebelum fajar—para leluhur, paling tidak selama satu tahun berikutnya, dapat menikmati atap genteng mereka.